Sabtu, 08 Juni 2013
Nikmati Pekerjaanmu!
“
Terkadang bukan kita yang memilih pekerjaan, tapi pekerjaanlah yang memilih
kita. “
Kalimat
itu aku dengar dari sebuah dialog yang pernah aku tonton di sebuah tv series
barat. Judulnya Tru Calling, series bergenre sci-fic dan fantasy ini
menceritakan tentang seorang gadis bernama Tru yang bekerja di sebuah Morgue.
Morgue itu adalah sebuah tempat penyimpanan mayat yang mati secara tidak wajar
atau mayat yang biasa ada di TKP yang disimpan untuk diautopsi. Banyak yang
bertanya kepada Tru, kenapa ia mau bekerja di tempat itu, tempat mengerikan
yang penuh dengan orang mati. Apalagi Tru adalah gadis cantik dan pintar. Dia bisa saja mendapatkan dengan
mudah pekerjaan lain selain di Morgue tentunya. Tapi ia hanya menjawab dengan
dialog di atas.
Dan
kalimat itu membuatku berpikir, mungkin
ada benarnya juga perkataan itu. Terkadang bukan kita yang memilih pekerjaan,
tapi pekerjaanlah yang memilih kita. Kenapa? Karena aku punya pengalaman yang
bisa membuktikan kebenaran kalimat tersebut. Setidaknya kebenaran versiku.
Aku
adalah sarjana komputer yang lulus dari sebuah universitas bergengsi di Jakarta
dengan IP yang lumayan bagus. Orangtuaku dan orang-orang lain mengira tidak
sulit bagiku untuk mendapat pekerjaan yang aku inginkan dengan salary yang lumayan. Tapi nyatanya
setelah lulus kuliah aku menganggur selama beberapa tahun. Sudah banyak perusahaan yang aku lamar, bahkan hasil tes psikotesku dan TOEFLku pun tidak
mengecewakan. Tapi aku tidak pernah
diterima di perusahaan manapun, ditolak lagi dan lagi. Aku sadar kelemahanku
terletak pada interview, aku selalu gugup dan terbata-bata saat interview yang
menyebabkanku gagal dimanapun.
Tapi
akhirnya tanpa disangka aku ditawari untuk mengajar di sebuah taman
kanank-kanak. Aku yang tidak punya riwayat dalam mengajar, kecuali memang di
rumah suka datang anak-anak untuk mengaji, tapi systemnya hanya ngaji, hafalan,
dan pulang. Aku tidak tahu itu bisa
dikategorikan sebagai kegiatan mengajar
atau tidak, karena yang aku lakukan
hanya membetulkan bacaan iqro atau al-quran yang salah. Tidak lebih. Tidak
terlalu banyak menggunakan kata-kata yang biasa dilakukan seorang guru ketika
mengajar.
Akhirnya
aku memutuskan untuk mencoba
tawaran itu. Mencoba dengan mengandalkan
kemampuanku yang apa adanya dalam dunia pendidikan untuk mengajar di taman kanak kanak tersebut. Dan ternyata not bad, sama sekali tidak buruk. Bahkan
semakin lama aku semakin menikmatinya. Tidak peduli dengan salary yang kecil atau perjalanan yang jauh, dengan senang hati
aku menjalaninya. Setelah mengajar di
TK, aku pun banyak mendapat tawaran untuk mengajar, di TPA, di mentoring
sekolah, di les privat, semua aku jalani
dengan nikmat walau terkadang merasa lelah, karena waktu seminggu itu full dari
pagi sampai malam kugunakan untuk mengajar.
Aku
yang awalnya yakin bahwa bidangku adalah di komputer, karena memang itu hobyku
dari dulu, tapi ternyata sekarang sangat menikmati terjun di dunia pendidikan
anak-anak. Itulah mengapa aku sebut bahwa terkadang pekerjaan yang memilih
kita, bukan kita yang memilih pekerjaan itu. Karena aku melihat banyak
teman-temanku yang menurutku hidupnya telah mapan, gajinya sudah besar, posisi
sudah tinggi, tapi terus saja merasa tidak tenang dan selalu gonta-ganti
pekerjaan. Mungkin saat ini mereka belum menemukan pekerjaan yang cocok
dengannya, atau bisa dibilang pekerjaan belum memilihnya. Sedangkan aku, dengan
gaji yang pas-pasan tapi merasa tenang dan tidak berniat untuk beralih dari
pekerjaan ini. Aku merasa bersyukur karena akhirnya bisa bergelut di dunia pendidikan
ini.
Dari
dulu moto hidupku adalah bermanfaat bagi banyak orang yang juga sama dengan
moto hidup ibuku. Jadi kami berdua, aku dan Ibuku membuka pengajian di rumah.
Karena menurut kami kesuksesan seseorang bukan dilihat dari seberapa banyak
harta orang itu, seberapa tinggi jabatan orang itu, seberapa hebat pendidikan
orang itu, melainkan dilihat dari seberapa bermanfaat orang itu untuk orang
sekitar. Aku juga selalu yakin bahwa ini juga akan menjadi tabunganku di
akhirat kelak. Karena yang aku ingat bahwa amal yang akan terus mengalir sampai
liang kubur adalah anak yang soleh, amal jariyah, dan ilmu yang bermanfaat. Aku
belum menikah jadi belum punya anak, hartaku juga tidak banyak sehingga belum
bisa melakukan amal jariyah, yang aku punya hanyalah ilmu yang bermanfaat. Jadi
jika aku mengajarkan seorang anak mengenal huruf hingga sampai bisa membaca,
mengenal angka hingga sampai bisa berhitung, dan mengenal huruf hilaiyah hingga
sampai bisa mengaji, berarti selama anak itu membaca, berhitung, mengaji,
bukankah pahalanya akan terus mengalir. Setidaknya itulah pendapatku, masalah
pahala aku serahkan sepenuhnya pada ALLAH SWT.
Yang
jelas, menjadi seorang pengajar memberikan banyak manfaat untukku, wawasanku dan
pengalamanku bertambah, semakin mengerti dengan dunia anak-anak dan harapan ke
depannya nanti semoga aku bisa terus bermanfaat atau kalau bisa menghasilkan
sesuatu untuk dunia pendidikan anak-anak.
Tentunya
semua itu tidak lepas dari peran orang-orang sekitarku, terutama orang tuaku.
Bayangkan saja, saya anak pertama, adikku yang pertama masih kuliah, dan yang
kedua masih sekolah, sedangkan bapakku adalah pensiunan pegawai negeri, ibuku
adalah ibu rumah tangga. Jadi satu-satunya pemasukkan di keluarga adalah dari
pensiunan bapakku. Pensiunan bapakku itu yang jumlahnya tidak seberapa dipakai
untuk biaya hidup 5 orang, biaya kuliah dan biaya sekolah adik-adikku. Mungkin
kalau orang tua yang lain sudah mengeluh dan marah-marah, menuntut anak
pertamanya untuk mendapat pekerjaan dengan gaji yang besar agar dapat membantu
biaya hidup keluarga. Aku pun terkadang merasa berdosa dan tidak bisa menjadi
anak yang berbakti pada orang tuanya, anak yang bisa membanggakan orangtuanya,
ketika para orang tua yang lain sibuk membanggakan kesuksesan anak-anaknya,
seberapa besar gajinya, seberapa tinggi jabatannya, sudah punya barang mewah
apa saja, dan lain-lain. Sedangkan aku, aku merasa menjadi anak yang tidak
berguna untuk orang tuaku, karena tidak bisa membantu mereka, gajiku hanya
cukup untuk bisa menghidupi diriku sendiri.
Tapi
untungnya Ibuku adalah seorang Ibu yang luar biasa. Dia tak pernah mengeluh,
dia tak pernah menuntut apapun dariku. Dia sering bilang “Dengan memenuhi
kebutuhan hidupmu sendiri, itu sudah cukup membantu Ibu. Ibu ga bangga sama
anak yang sukses di dunia, Ibu lebih bangga dengan anak yang sukses di
akhirat.” Dan kata-kata Ibu itu selalu berhasil membuatku terharu.
Jadi
kesimpulannya, aku merasa bahwa pekerjaanlah yang telah memilihku. Dari mana
aku tahu itu? Dari hati. Tanyakan hatimu apakah kamu sudah cocok dan merasa
nyaman dengan pekerjaan itu. Ingat! Dengan hati, bukan dengan hawa nafsu. Bukan
dengan akal. Karena kalau kita menggunakan akal, berhitung dengan ilmu ekonomi
dunia, mencari keuntungan sebesar-besarnya, maka kita tidak akan pernah
menemukan jawabannya. Tapi coba kalau memakai ilmu ekonomi Allah SWT,
sesungguhnya keuntungannya akan lebih besar dan berlipat ganda daripada ilmu
ekonomi dunia, hanya saja keuntungannya akan di dapatkan di akhirat kelak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar