Minggu, 01 Februari 2009
In:
kisah
,
Rasulullah
,
teladan
kisah teladan : "Tangan Di Atas Lebih Mulia"
Dengan penuh harap, lelaki berpakaian kumal itu menuju kota Madinah. Walaupun badannya terasa lelah tapi ia paksakan juga menempuh perjalanan yang cukup jauh. Kabarnya, di kota ada seorang Nabi yang baru hijrah. Namanya Muhammad Saw. Orangnya sangat santun dan penuh kasih sayang pada siapa saja. Apalagi terhadap fakir miskin, Nabi itu begitu mengasihinya.
"Tentu hatinya begitu mulia. Aku akan menemuinya," bisik lelaki itu.
Keringat yang mengucur di wajahnya tidak membuat lelaki miskin itu membatalkan niatnya. Dicarinya rumah Nabi Muhammad. Setiba di depan sebuah rumah, lelaki itu pun berseru memanggil Nabi.
"Wahai Rasulullah! Nabi kaum muslimin," kata lelaki itu agak keras.
Sebentar kemudian muncul seorang lelaki yang berwajah meneduhkan. Sifat kasih sayangnya memancar lembut dari sorot matanya.
"Ya Rasulullah, aku ini sedang kelaparan. Anak dan istriku sedang menderita. Berilah aku sedekah, Tuan," katanya dengan suara tertahan.
"Baik, tunggulah sebentar," jawab Nabi lemah lembut. Nabi masuk ke rumahnya dan membawa makanan untuk lelaki miskin itu. Dengan tangannya sendiri, Nabi menyerahkan sedekah makanan pada lelaki tersebut.
"Aku hanya dapat memberikan makanan sekadarnya," kata Rasulullah.
"Alhamdulillah. Terima kasih Tuan. Aku akan berdo'a agar Allah memberikan balasan yang berlipat," ucap lelaki miskin itu.
"Ambillah rezeki dari Allah ini," kata Rasulullah lagi.
Lelaki itu kemudian pergi membawa makanan dari Rasulullah ke kampungnya. Di sana, ia menyantap sedekah itu beserta anak dan istrinya.
"Sungguh dermawan Nabi umat Islam itu. Aku diperlakukannya dengan santun," cerita lelaki itu pada anak dan istrinya."Apa yang dikatakan orang-orang kalau Nabi Muhammad seorang yang amat mulia itu benar."
"Kalau begitu, besok kau pergi ke rumahnya lagi. Pasti ia akan memberi sedekah yang lebih banyak,"usul istrinya.
Lelaki miskin itu diam sejenak. Lalu mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Nabi Muhammad memang sangat mengasihi orang miskin. Apa pun akan di sedekahkannya dengan ikhlas karena Allah.
Keesokan harinya lelaki miskin itu datang kembali menemui Rasulullah untuk meminta sedekah. Ia amat yakin akan mendapatkannya seperti kemarin. Dengan pakaian yang robek di sana-sini, lelaki itu berdiri di depan pintu rumah Nabi.
"Ya Nabi Allah! Berilah aku sedekah. Anakku belum makan apa-apa di rumah," pintanya memelas.
Rasulullah memandangi peminta-minta itu dengan heran.
"Bukankah kau ini orang yang datang kemarin?" tanya Nabi.
"Ya betul. Kasihanilah si miskin ini," ujarnya.
Nabi pun masuk ke rumahnya mengambil sejumlah uang untuk lelaki miskin itu. Lalu menyedekahkannya.
"Ini untukmu. Pergunakanlah dengan baik dijalan Allah," kata Rasulullah. Bukan main senangnya hati lelaki itu. Rasulullah memberi sedekah uang yang cukup banyak.
Peminta-minta itu pulang sambil bersiul. Ia tak menduga akan mendapat rezeki nomplok! Nabi Muhammad benar-benar seorang yang penyayang. Ia pun lalu membayangkan apa yang akan di sedekahkan Rasulullah padanya besok. Mungkin pakaian yang bagus atau emas permata...ah! siapa tahu? Bukankah beliau gemar bersedekah?
Lelaki itu kenbali menceritakan kemurahan hati Rasulullah.
" Saya jadi ingin menemuinya," kata isterinya.
" Besok aku mau datang lagi memionta sedekahnya." Lelaki itu kembali menerka-nerka barang berharga yang akan diberikan Rasululah.
" Aku jadi ingin bertemu dengan Rasulullah," sahut isterinya tiba-tiba.lelaki itu mengerutkan dahinya. " Kau mau ikut denganku?"
Beberapa saat lelaki itu berpikir. Boleh juga, sesekali memebawa isteri dan anaknya menemui Nabi. Pasti akan lebih meyakinkan! Rasulullah akan iba melihat kelurganya yang hidup serba kesusahan.
"Kau boleh ikut! Kau bisa membatuku nanti," katanya sambil tersenyum. Bahkan, lelaki itu sudah mempunyai maksud mejadi peminta-minta untuk mencari nafkah bagi keluarganya.
" Tak usah capek-capek kerja keras. Cukup dengan cukup dengan menadahkan tagangan dapat rezeki....," pikirnya senang.
Lalu keesokan harinya peminta-minta itu membawa isteri dan anaknya kerumah Rasulullah.
" Tuan, berilah kami sedekah sekadarnya," katanya degan nada memelas.
" Kasihanilah kami yang melarat ini...," timpal isterinya pula.
Rasulullah memperhatikan rombongan kecil itu. Nabi ingat benar lelaki itu yang datang kemarin meminta sedekah.
" Tunggu sebentar," sahut Nabi. Peminta-minta itu gembira akan diberi sesuatu oleh Nabi. Dengan sabar ia menunggu dan mengharap rezeki yang lebih besar lagi.
Tak lama kemudiann, Nabi datang membawa sebuah kapak. Melihat itu, si Pengemis tercengang.
" Sedekahku hari ini sebuah kapak untukmu," kata Nabi.
Pengemis itu keheranan. Kenapa hari ini Rasululah tidak memberi sedekah makanan atau uang.
" Tuan, kapak ini untuk apa? Aku minta sedekah uang atau makanan...," sahut sang Pengemis.
" Kapak ini akan lebih bermamfaat buatmu. Kau bisa menggunakannya untuk menebang pohon, memotong kayu, dan pekerjaan lainnya. Pekerjaan itu dapat menghasilkan nafkah bagimu dan keluargamu," kata Nabi. Lelaki beserta isterinya itu tertegun.
Sungguh , ia tak menduga kalau Nabi akan memberi kapak sebagai sedekah.
" Gunakanlah kapak ini untuk mencari nafkah sehingga kau tidak meminta-minta lagi," sahut Nabi pula.
" Terimakasih, Tuan," ucap lalaki itu seraya menunduk.
Orang itupun lalu pergi dengan perasaan yang berkecamuk. Ia sangat malu menjadi peminta-minta untk mencari nafkah bagi keluarganya. Padahal, ia belum bagitu tua.Tenaganya masih kuat untuk bekerja apa saja. Ia menyesal sudah memafaatkan kemiskinannya sebagai alasan untuk mengemis. Bukankah Allah tidak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang mau berusaha dengan sungguh-sungguh?
Sejak itu, lelaki itu tidak pernah meminta-minta lagi. Ia mencari nafkah dengan menggunakan kapak pemberian Rasulullah.
Kehidupannya pun meningkat berkat kerja keras dan ketekunannya selama ini.
Lelaki itu baru menyadari bahwa tangan diatas lebih mulia daripada tangan dibawah. Karenanya, ia bertekad tak akan menadahkan tangannya kepada manusia. Dia akan menadahkan tangannya hanya kepada Allah yang Maha Penyayang.
TAMAT
diambil dari ebook :
KISAH TELADAN UNTUK ANAK-ANAK
Compiled by Erman
Citramas Indah E/22
Batu Besar, Batam
E-mail: 4erman@telkom.net
"Tentu hatinya begitu mulia. Aku akan menemuinya," bisik lelaki itu.
Keringat yang mengucur di wajahnya tidak membuat lelaki miskin itu membatalkan niatnya. Dicarinya rumah Nabi Muhammad. Setiba di depan sebuah rumah, lelaki itu pun berseru memanggil Nabi.
"Wahai Rasulullah! Nabi kaum muslimin," kata lelaki itu agak keras.
Sebentar kemudian muncul seorang lelaki yang berwajah meneduhkan. Sifat kasih sayangnya memancar lembut dari sorot matanya.
"Ya Rasulullah, aku ini sedang kelaparan. Anak dan istriku sedang menderita. Berilah aku sedekah, Tuan," katanya dengan suara tertahan.
"Baik, tunggulah sebentar," jawab Nabi lemah lembut. Nabi masuk ke rumahnya dan membawa makanan untuk lelaki miskin itu. Dengan tangannya sendiri, Nabi menyerahkan sedekah makanan pada lelaki tersebut.
"Aku hanya dapat memberikan makanan sekadarnya," kata Rasulullah.
"Alhamdulillah. Terima kasih Tuan. Aku akan berdo'a agar Allah memberikan balasan yang berlipat," ucap lelaki miskin itu.
"Ambillah rezeki dari Allah ini," kata Rasulullah lagi.
Lelaki itu kemudian pergi membawa makanan dari Rasulullah ke kampungnya. Di sana, ia menyantap sedekah itu beserta anak dan istrinya.
"Sungguh dermawan Nabi umat Islam itu. Aku diperlakukannya dengan santun," cerita lelaki itu pada anak dan istrinya."Apa yang dikatakan orang-orang kalau Nabi Muhammad seorang yang amat mulia itu benar."
"Kalau begitu, besok kau pergi ke rumahnya lagi. Pasti ia akan memberi sedekah yang lebih banyak,"usul istrinya.
Lelaki miskin itu diam sejenak. Lalu mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Nabi Muhammad memang sangat mengasihi orang miskin. Apa pun akan di sedekahkannya dengan ikhlas karena Allah.
Keesokan harinya lelaki miskin itu datang kembali menemui Rasulullah untuk meminta sedekah. Ia amat yakin akan mendapatkannya seperti kemarin. Dengan pakaian yang robek di sana-sini, lelaki itu berdiri di depan pintu rumah Nabi.
"Ya Nabi Allah! Berilah aku sedekah. Anakku belum makan apa-apa di rumah," pintanya memelas.
Rasulullah memandangi peminta-minta itu dengan heran.
"Bukankah kau ini orang yang datang kemarin?" tanya Nabi.
"Ya betul. Kasihanilah si miskin ini," ujarnya.
Nabi pun masuk ke rumahnya mengambil sejumlah uang untuk lelaki miskin itu. Lalu menyedekahkannya.
"Ini untukmu. Pergunakanlah dengan baik dijalan Allah," kata Rasulullah. Bukan main senangnya hati lelaki itu. Rasulullah memberi sedekah uang yang cukup banyak.
Peminta-minta itu pulang sambil bersiul. Ia tak menduga akan mendapat rezeki nomplok! Nabi Muhammad benar-benar seorang yang penyayang. Ia pun lalu membayangkan apa yang akan di sedekahkan Rasulullah padanya besok. Mungkin pakaian yang bagus atau emas permata...ah! siapa tahu? Bukankah beliau gemar bersedekah?
Lelaki itu kenbali menceritakan kemurahan hati Rasulullah.
" Saya jadi ingin menemuinya," kata isterinya.
" Besok aku mau datang lagi memionta sedekahnya." Lelaki itu kembali menerka-nerka barang berharga yang akan diberikan Rasululah.
" Aku jadi ingin bertemu dengan Rasulullah," sahut isterinya tiba-tiba.lelaki itu mengerutkan dahinya. " Kau mau ikut denganku?"
Beberapa saat lelaki itu berpikir. Boleh juga, sesekali memebawa isteri dan anaknya menemui Nabi. Pasti akan lebih meyakinkan! Rasulullah akan iba melihat kelurganya yang hidup serba kesusahan.
"Kau boleh ikut! Kau bisa membatuku nanti," katanya sambil tersenyum. Bahkan, lelaki itu sudah mempunyai maksud mejadi peminta-minta untuk mencari nafkah bagi keluarganya.
" Tak usah capek-capek kerja keras. Cukup dengan cukup dengan menadahkan tagangan dapat rezeki....," pikirnya senang.
Lalu keesokan harinya peminta-minta itu membawa isteri dan anaknya kerumah Rasulullah.
" Tuan, berilah kami sedekah sekadarnya," katanya degan nada memelas.
" Kasihanilah kami yang melarat ini...," timpal isterinya pula.
Rasulullah memperhatikan rombongan kecil itu. Nabi ingat benar lelaki itu yang datang kemarin meminta sedekah.
" Tunggu sebentar," sahut Nabi. Peminta-minta itu gembira akan diberi sesuatu oleh Nabi. Dengan sabar ia menunggu dan mengharap rezeki yang lebih besar lagi.
Tak lama kemudiann, Nabi datang membawa sebuah kapak. Melihat itu, si Pengemis tercengang.
" Sedekahku hari ini sebuah kapak untukmu," kata Nabi.
Pengemis itu keheranan. Kenapa hari ini Rasululah tidak memberi sedekah makanan atau uang.
" Tuan, kapak ini untuk apa? Aku minta sedekah uang atau makanan...," sahut sang Pengemis.
" Kapak ini akan lebih bermamfaat buatmu. Kau bisa menggunakannya untuk menebang pohon, memotong kayu, dan pekerjaan lainnya. Pekerjaan itu dapat menghasilkan nafkah bagimu dan keluargamu," kata Nabi. Lelaki beserta isterinya itu tertegun.
Sungguh , ia tak menduga kalau Nabi akan memberi kapak sebagai sedekah.
" Gunakanlah kapak ini untuk mencari nafkah sehingga kau tidak meminta-minta lagi," sahut Nabi pula.
" Terimakasih, Tuan," ucap lalaki itu seraya menunduk.
Orang itupun lalu pergi dengan perasaan yang berkecamuk. Ia sangat malu menjadi peminta-minta untk mencari nafkah bagi keluarganya. Padahal, ia belum bagitu tua.Tenaganya masih kuat untuk bekerja apa saja. Ia menyesal sudah memafaatkan kemiskinannya sebagai alasan untuk mengemis. Bukankah Allah tidak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang mau berusaha dengan sungguh-sungguh?
Sejak itu, lelaki itu tidak pernah meminta-minta lagi. Ia mencari nafkah dengan menggunakan kapak pemberian Rasulullah.
Kehidupannya pun meningkat berkat kerja keras dan ketekunannya selama ini.
Lelaki itu baru menyadari bahwa tangan diatas lebih mulia daripada tangan dibawah. Karenanya, ia bertekad tak akan menadahkan tangannya kepada manusia. Dia akan menadahkan tangannya hanya kepada Allah yang Maha Penyayang.
TAMAT
diambil dari ebook :
KISAH TELADAN UNTUK ANAK-ANAK
Compiled by Erman
Citramas Indah E/22
Batu Besar, Batam
E-mail: 4erman@telkom.net
Profesor dan Calon Dokter
Di sebuah ruang kuliah, seorang profesor kedokteran memberikan kuliah perdananya. Para mahasiswa baru itu tampak serius. Mata mereka terpaku menatap profesor, seraya tangan sibuk mencatat.
"Menjadi dokter, butuh keberanian dan ketelitian," terdengar suara sangprofesor. "Dan saya harap kalian dapat membuktikannya." Bapak itu beranjak ke samping. "Saya punya setoples cairan limpa manusia yang telah direndam selama 3 bulan."
Profesor itu mencelupkan jari ke dalam toples, dan memasukkan jari itu ke mulutnya. Terdengar teriak-teriak kecil dari mahasiswa itu. Mereka terlihat jijik. "Itulah yang
kusebut dengan keberaniandan ketelitian," ucap profesor lebih meyakinkan.
"Saya butuh satu orang yang bisa berbuat seperti saya. Buktikan bahwa kalianingin menjadi dokter."
Suasana aula mendadak senyap. Mereka bingung: antarajijik dan tantangan sebagai calon dokter. Tak ada yang mengangkat tangan.Sang profesor berkata lagi, "Tak adakah yang bisa membuktikan kepada saya? Mana keberanian dan ketelitian kalian?"
Tiba-tiba, seorang anak muda mengangkat tangan. "Ah, akhirnya ada juga yang berani. Tunjukkan pada teman-temanmu bahwa kau punya keberanian dan ketelitian." Anak muda itu menuruni tangga, menuju mimbar tempat sang professor berada. Dihampirinya stoples itu dengan ragu-ragu. Wajahnya tegang, dan perasaan jijik terlihat dari air mukanya.
Ia mulai memasukkan jarinya ke dalam toples. Kepala menoleh ke samping dengan mata yang menutup. Teriakan kecil rasa jijik kembali terdengar.Perlahan, dimasukkannya jari yang telah tercelup lendir itu ke mulutnya.Banyak orang yang menutup mata, banyak pula yang berlari menuju kamar kecil.Sang professor tersenyum. Anak muda itu tersenyum kecut, sambil meludah-ludah ke samping.
"Aha, kamu telah membuktikan satu hal, anak muda. Seorang calon dokter memang harus berani. Tapi sayang, dokter juga butuh ketelitian." Profesor itu menepuk punggung si mahasiswa. "Tidakkah kau lihat, aku tadi memasukkan telunjuk ke toples, tapi jari tengah yang masuk ke mulut. Seorang dokter memang butuh keberanian, tapi lebih butuh lagi ketelitian."
***
Tantangan hidup, kadangkala bukan untuk menghadapi kematian. Tapi, justru bagaimana menjalani kehidupan. Banyak orang yang takut mati. Tapi, tidak sedikit yang memilih mati ketimbang hidup. Banyak yang menghabisi hidup pada jalan-jalan tercela. Banyak pula yang enggan hidup hanya karena beratnya beban kehidupan.
Ujaran profesor itu memang benar. Tantangan menjadi seorang dokter-dan sesungguhnya, menjadi manusia-adalah dibutuhkannya keberanian danketelitian. Bahkan, tantangan itu lebih dari sekadar mencicipi rasa cairan limpa di toples. Lebih berat. Jauh lebih berat. Dalam kehidupan, apa yang kita alami kadang lebih pahit dan menegangkan. Namun, bagi yang teliti,semua bisa jadi manis, menjadi tantangan yang mengasyikkan. Di sanalah ditemukan semua rasa, rupa dan suasana yang mendidik. Dan mereka dapat dengan teliti memilah dan memilih.
Teman, hati-hatilah. Hidup memang butuh keberanian. Tapi, akan lebih butuh ketelitian. Cermati langkahmu, waspadai tindakanmu. Hati-hati saat "mencelupkan jari" dalam toples kehidupan. Kalau tidak, "rasa pahit" yang akan kita temukan..
Oleh : Irfan Toni Herlambang
visit : www.sahabatmuslim.com
"Menjadi dokter, butuh keberanian dan ketelitian," terdengar suara sangprofesor. "Dan saya harap kalian dapat membuktikannya." Bapak itu beranjak ke samping. "Saya punya setoples cairan limpa manusia yang telah direndam selama 3 bulan."
Profesor itu mencelupkan jari ke dalam toples, dan memasukkan jari itu ke mulutnya. Terdengar teriak-teriak kecil dari mahasiswa itu. Mereka terlihat jijik. "Itulah yang
kusebut dengan keberaniandan ketelitian," ucap profesor lebih meyakinkan.
"Saya butuh satu orang yang bisa berbuat seperti saya. Buktikan bahwa kalianingin menjadi dokter."
Suasana aula mendadak senyap. Mereka bingung: antarajijik dan tantangan sebagai calon dokter. Tak ada yang mengangkat tangan.Sang profesor berkata lagi, "Tak adakah yang bisa membuktikan kepada saya? Mana keberanian dan ketelitian kalian?"
Tiba-tiba, seorang anak muda mengangkat tangan. "Ah, akhirnya ada juga yang berani. Tunjukkan pada teman-temanmu bahwa kau punya keberanian dan ketelitian." Anak muda itu menuruni tangga, menuju mimbar tempat sang professor berada. Dihampirinya stoples itu dengan ragu-ragu. Wajahnya tegang, dan perasaan jijik terlihat dari air mukanya.
Ia mulai memasukkan jarinya ke dalam toples. Kepala menoleh ke samping dengan mata yang menutup. Teriakan kecil rasa jijik kembali terdengar.Perlahan, dimasukkannya jari yang telah tercelup lendir itu ke mulutnya.Banyak orang yang menutup mata, banyak pula yang berlari menuju kamar kecil.Sang professor tersenyum. Anak muda itu tersenyum kecut, sambil meludah-ludah ke samping.
"Aha, kamu telah membuktikan satu hal, anak muda. Seorang calon dokter memang harus berani. Tapi sayang, dokter juga butuh ketelitian." Profesor itu menepuk punggung si mahasiswa. "Tidakkah kau lihat, aku tadi memasukkan telunjuk ke toples, tapi jari tengah yang masuk ke mulut. Seorang dokter memang butuh keberanian, tapi lebih butuh lagi ketelitian."
***
Tantangan hidup, kadangkala bukan untuk menghadapi kematian. Tapi, justru bagaimana menjalani kehidupan. Banyak orang yang takut mati. Tapi, tidak sedikit yang memilih mati ketimbang hidup. Banyak yang menghabisi hidup pada jalan-jalan tercela. Banyak pula yang enggan hidup hanya karena beratnya beban kehidupan.
Ujaran profesor itu memang benar. Tantangan menjadi seorang dokter-dan sesungguhnya, menjadi manusia-adalah dibutuhkannya keberanian danketelitian. Bahkan, tantangan itu lebih dari sekadar mencicipi rasa cairan limpa di toples. Lebih berat. Jauh lebih berat. Dalam kehidupan, apa yang kita alami kadang lebih pahit dan menegangkan. Namun, bagi yang teliti,semua bisa jadi manis, menjadi tantangan yang mengasyikkan. Di sanalah ditemukan semua rasa, rupa dan suasana yang mendidik. Dan mereka dapat dengan teliti memilah dan memilih.
Teman, hati-hatilah. Hidup memang butuh keberanian. Tapi, akan lebih butuh ketelitian. Cermati langkahmu, waspadai tindakanmu. Hati-hati saat "mencelupkan jari" dalam toples kehidupan. Kalau tidak, "rasa pahit" yang akan kita temukan..
Oleh : Irfan Toni Herlambang
visit : www.sahabatmuslim.com
Jembatan
Dua orang bersaudara tinggal di suatu ladang. Dulu mereka hidup nyaman, saling bantu, dan saling tolong. Namun, karena suatu masalah, kini mereka berselisih. Kasih sayang yang berlangsung selama hidup berdampingan sepuluh tahun sirna dalam sekejap. Awalnya hanya kesalahpahaman kecil. Lalu menjadi saling ejek dan saling maki, setelah tak bertegur sapa selama seminggu.
Pada suatu pagi si kakak kedatangan tamu. Rupanya seorang tukang kayu yang datang lengkap dengan kotak perkakasnya. “Saya mencari kerja. Apakah anda punya pekerjaan buat saya?” tanya si tukang kayu itu. “O ya,” kata si Kakak. “Saya punya satu pekerjaan untukmu. Coba lihat di sana, di ladang sebelah sana. Di sana tinggal tetangga saya. Ehmm, sebenarnya adik saya. Dua minggu lalu dia membuat masalah dengan saya. Sebelumnya di sana ada sebuah tanah lapang, tapi dia telah menguruk tanah itu dan kini ada sebuah lembah kecil di sana. Mungkin ia ingin membatasi tanahnya dengan lembah itu.”
“Tapi,” dia berkata lagi, “Saya bisa lakukan yang lebih baik daripada dia. Kamu lihat kumpulan kayu yang di lumbung itu? Saya ingin kamu membuat pagar. Dan ingat, tingginya harus 10 meter sehingga dia tak akan bisa lagi melihat ladang saya lagi. Saya ingin memberinya pelajaran.” “Baiklah, saya bisa mengerti masalahnya,” jawab si tukang kayu. “Sekarang, tunjukkan dimana palu dan paku supaya saya bisa mulai bekerja. Saya akan membuat Anda senang dengan pekerjaan saya ini.”
Sang kakak menunjukkan tempat perkakas miliknya, lalu pergi ke kota untuk membeli beberapa barang sehari-hari. Ia juga berpesan kepada si tukang kayu untuk menyelesaikan tugasnya itu dalam seminggu. Jadi, selesai tepat saat ia kembali dari kota.
Tibalah saat itu. Matahari hampir tenggelam ketika sang kakak tiba dari kota. Ia langsung menuju “perbatasan” ladang itu. Matanya terbelalak. Betapa kagetnya ia, sebab di sana tidak dilihatnya pagar. Yang ada justru sebuah jembatan yang menghubungkan ladangnya dengan ladang adiknya. Di ujung jalan yang lainnnya, sang adik ternyata telah berdiri sambil melambai-lambaikan tangan. Dalam temaram senja kedua kakak-beradik itu bertemu di tengah jembatan. Sang adik berkata, “Kak, engkau begitu baik telah membuatkan satu jembatan buat kita berdua. Padahal aku yang memulai segalanya. Aku yang membuat lembah ini sebagai batas di antara kita. Engkau begitu baik, walaupun atas segala yang pernah kuucapkan dan telah kuperbuat.”
Sang kakak tak menyangka seperti ini kejadiannya. Sebenarnya ia ingin juga membuat batas di antara mereka. Kedua tangan kakak-beradik itu lalu terbuka untuk saling berpelukan. Di tempat yang agak jauh si tukang kayu menyaksikan adegan itu. Kemudian memanggung pekakasnya. Bersiap pergi. Tapi, ekor mata si kakak segera menangkapnya. “Heii…tunggu! Jangan pergi! Aku punya pekerjaan lain untukmu,” teriak si kakak memanggil si tukang kayu. “Saya ingin sekali berada di sini dan merasakan kebahagiaan kalian,” kata si tukang kayu. “Tapi, masih banyak jembatan lagi yang harus kubangun. Terima kasih.”
Teman, jembatan antarmanusia adalah cinta dan kasih sayang. Dalam cinta kita akan menemukan saling pengertian, pengharapan, welas asih, perhatian, peneguhan, dukungan, semangat, dan banyak hal lainnya. Jika tak bisa menemukan cara untuk memberikan kasih kepada banyak orang, setidaknya kita punya cara untuk mengingat bahwa kita telah lakukan yang terbaik. Sesungguhnya yang kita butuhkan hanyalah sedikit sentuhan bahwa sebenarnya kita adalah satu dan punya keinginan yang sama: DICINTAI dan MENCINTAI.
Disadur dari buku :
Kekuatan Cinta “30 Nasihat Bagi Jiwa Perindu Nur Illahi”
Irfan Toni Herlambang
Pada suatu pagi si kakak kedatangan tamu. Rupanya seorang tukang kayu yang datang lengkap dengan kotak perkakasnya. “Saya mencari kerja. Apakah anda punya pekerjaan buat saya?” tanya si tukang kayu itu. “O ya,” kata si Kakak. “Saya punya satu pekerjaan untukmu. Coba lihat di sana, di ladang sebelah sana. Di sana tinggal tetangga saya. Ehmm, sebenarnya adik saya. Dua minggu lalu dia membuat masalah dengan saya. Sebelumnya di sana ada sebuah tanah lapang, tapi dia telah menguruk tanah itu dan kini ada sebuah lembah kecil di sana. Mungkin ia ingin membatasi tanahnya dengan lembah itu.”
“Tapi,” dia berkata lagi, “Saya bisa lakukan yang lebih baik daripada dia. Kamu lihat kumpulan kayu yang di lumbung itu? Saya ingin kamu membuat pagar. Dan ingat, tingginya harus 10 meter sehingga dia tak akan bisa lagi melihat ladang saya lagi. Saya ingin memberinya pelajaran.” “Baiklah, saya bisa mengerti masalahnya,” jawab si tukang kayu. “Sekarang, tunjukkan dimana palu dan paku supaya saya bisa mulai bekerja. Saya akan membuat Anda senang dengan pekerjaan saya ini.”
Sang kakak menunjukkan tempat perkakas miliknya, lalu pergi ke kota untuk membeli beberapa barang sehari-hari. Ia juga berpesan kepada si tukang kayu untuk menyelesaikan tugasnya itu dalam seminggu. Jadi, selesai tepat saat ia kembali dari kota.
Tibalah saat itu. Matahari hampir tenggelam ketika sang kakak tiba dari kota. Ia langsung menuju “perbatasan” ladang itu. Matanya terbelalak. Betapa kagetnya ia, sebab di sana tidak dilihatnya pagar. Yang ada justru sebuah jembatan yang menghubungkan ladangnya dengan ladang adiknya. Di ujung jalan yang lainnnya, sang adik ternyata telah berdiri sambil melambai-lambaikan tangan. Dalam temaram senja kedua kakak-beradik itu bertemu di tengah jembatan. Sang adik berkata, “Kak, engkau begitu baik telah membuatkan satu jembatan buat kita berdua. Padahal aku yang memulai segalanya. Aku yang membuat lembah ini sebagai batas di antara kita. Engkau begitu baik, walaupun atas segala yang pernah kuucapkan dan telah kuperbuat.”
Sang kakak tak menyangka seperti ini kejadiannya. Sebenarnya ia ingin juga membuat batas di antara mereka. Kedua tangan kakak-beradik itu lalu terbuka untuk saling berpelukan. Di tempat yang agak jauh si tukang kayu menyaksikan adegan itu. Kemudian memanggung pekakasnya. Bersiap pergi. Tapi, ekor mata si kakak segera menangkapnya. “Heii…tunggu! Jangan pergi! Aku punya pekerjaan lain untukmu,” teriak si kakak memanggil si tukang kayu. “Saya ingin sekali berada di sini dan merasakan kebahagiaan kalian,” kata si tukang kayu. “Tapi, masih banyak jembatan lagi yang harus kubangun. Terima kasih.”
Teman, jembatan antarmanusia adalah cinta dan kasih sayang. Dalam cinta kita akan menemukan saling pengertian, pengharapan, welas asih, perhatian, peneguhan, dukungan, semangat, dan banyak hal lainnya. Jika tak bisa menemukan cara untuk memberikan kasih kepada banyak orang, setidaknya kita punya cara untuk mengingat bahwa kita telah lakukan yang terbaik. Sesungguhnya yang kita butuhkan hanyalah sedikit sentuhan bahwa sebenarnya kita adalah satu dan punya keinginan yang sama: DICINTAI dan MENCINTAI.
Disadur dari buku :
Kekuatan Cinta “30 Nasihat Bagi Jiwa Perindu Nur Illahi”
Irfan Toni Herlambang
visit : www.sahabatmuslim.com
Langganan:
Postingan (Atom)