Cerpen : "Di Stasiun itu............"
By : desthy_shk
Hari ini hari Senin, hari yang sibuk seperti hari-hari sebelumnya. Hari ini matahari terasa membakar orang-orang di stasiun ini sehingga baju mereka terlihat basah karena keringat. Padahal waktu masih menunjukkan angka sembilan pagi. Seperti biasa stasiun Pasar minggu sudah dipenuhi oleh orang-orang yang menunggu kereta api. Ada yang ingin ke kantor, ke kampus, atau ke rumah sanak saudara mereka. Entahlah, yang jelas Arif bukan salah satu di antara mereka. Maksudnya bukan termasuk orang yang menunggu kereta api.
Arif adalah seorang pemuda pedagang asongan yang saat ini sedang menjajalkan dagangannya kepada orang-orang di stasiun ini. Di stasiun pasar minggu inilah Arif biasa mangkal. Di saat dagangannya sepi dengan pembeli, biasanya Arif hanya berjalan-jalan sambil memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Ia suka menebak-nebak pekerjaan apa yang dilakukan oleh orang-orang itu. Seperti yang sedang ia lakukan saat ini, Arif melihat seorang bapak yang berkumis tebal memakai jas lengkap dengan dasinya dan sepatu hitam mengkilap. Ah, dia pasti seorang bos yang pelit, pakaiannya elit tapi berangkat ke kantor naik kereta api, kata Arif dalam hati sambil tersenyum.
Arif terus jalan berkeliling sambil memperhatikan satu persatu orang di sekitarnya sampai akhirnya matanya berhenti pada sesosok gadis berkacamata yang sedang duduk sambil membaca sebuah buku.
Wah,cantik sekali gadis ini. Pasti dia seorang mahasiswa pintar di kampusnya. Buktinya,di suasana ramai kaya gini aja dia masih sempat-sempatnya baca buku. Serius amat sih bacanya. Lagi baca buku apa sih?
Arif mendekat ke arah gadis itu dan kini ia berdiri tepat disampingnya. Nampaknya gadis itu tidak menyadari kehadiran Arif karena ia masih saja terus membaca tanpa menoleh sedikitpun. Arif memperhatikan buku yang di baca gadis itu, tapi ia tetap saja tidak tahu buku apa itu karena ia sama sekali tidak mengerti isi buku itu. Mungkin itu buku kuliahnya, batin Arif. Lalu Arif mengalihkan pandangannya dari buku ke si pemilik buku tersebut. Ternyata dilihat dari dekat gadis ini terlihat makin cantik.
Ketika Arif sedang asyik-asyiknya memandangi gadis itu, tiba-tiba kereta pun datang. Gadis itu segera menutup buku yang sedang dibacanya dan beranjak pergi memasuki kereta itu. Dan kereta itupun pergi, meninggalkan Arif yang masih terpesona oleh kecantikan gadis itu.
Keesokan harinya Arif melihat gadis itu lagi. Gadis itu duduk ditempat yang kemarin. Kali ini gadis itu tidak sedang menunduk sambil membaca buku lagi. Sekarang wajah gadis itu menghadap ke depan sambil sesekali menganggukkan kepalanya. Sepertinya ia sedang mendengarkan lagu karena di telinganya terlihat ada earphone yang terpasang. Arif mendekat, tapi kali ini ia tidak berdiri di samping gadis itu melainkan sedikit di depan gadis itu.
Wah, kalau dilihat dari depan begini makin kelihatan cantiknya. Sayang dia pake kacamata. Coba kacamatanya dilepas pasti makin cantik. Gumam Arif.
Begitulah, semenjak itu Arif tak bosan-bosannya menunggu kedatangan gadis itu. Walau hanya untuk memandangnya saja, Arif sudah merasa lebih dari cukup karena memang hanya itulah yang dapat ia lakukan. Arif merasa tidak cukup pantas untuk mengenal gadis itu lebih jauh. Senin sampai jumat jam 9 di peron 3 jurusan kota, hanya itulah yang ia tahu dari gadis itu. Arif tidak berani bertanya pada gadis itu siapa namanya, alamatnya, dll. Ia hanya berani menatapnya dari kejauhan.
Sudah hampir dua minggu Arif memandangi gadis itu di kejauhan hingga suatu hari Arif melihat gadis berkacamata itu tidak mengenakan kacamatanya. Tapi kali ini gadis itu menundukkan kepalanya sambil sesekali mengusapkan tisu ke matanya. Sepertinya gadis itu sedang menangis.
Kenapa ya gadis itu menangis? Sepertinya sedih sekali. Sayang, padahal dia cantik kalau tidak pakai kacamata,tapi lebih cantik lagi kalo sambil tersenyum. Kenapa dia menangis ya? Tanya Arif dalam hati. Arif mendekati gadis itu. Tapi ia cuma bisa berdiri di samping gadis itu tanpa bisa berbuat apapun untuk menghibur gadis itu. Ia tidak punya cukup keberanian untuk melakukan hal itu.
Semenjak hari itu, hari dimana Arif melihat gadis itu menangis, Ia tidak melihat gadis itu lagi di stasiun. Arif terlihat sedih dan tidak bersemangat untuk berjualan. Ia terus menerus memikirkan gadis itu. Apa yang terjadi pada gadis itu ya? Apa terjadi sesuatu padanya? Apa dia sakit? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang selalu muncul di benaknya tanpa pernah ia tahu jawabannya.
Namun beberapa hari kemudian Arif kembali melihat gadis itu duduk di tempat biasa di stasiun. Tapi kini gadis itu tidak sendirian, di sampingnya duduk seorang pemuda yang tampan. Gadis itu berbincang dan bercanda dengan mesra dengan sang pemuda. Berbeda sekali dengan saat terakhir kali Arif melihatnya, kali ini senyum dan tawa tak henti-hentinya menghiasi wajah gadis itu.
Hati Arif hancur, namun ia turut bahagia untuk gadis itu karena setidaknya gadis itu dapat tersenyum kembali walau bukan karena dirinya…
Begitulah kisah cinta Arif berakhir walau tanpa pernah memulainya…….
kisah teladan : "Tangan Di Atas Lebih Mulia"
"Tentu hatinya begitu mulia. Aku akan menemuinya," bisik lelaki itu.
Keringat yang mengucur di wajahnya tidak membuat lelaki miskin itu membatalkan niatnya. Dicarinya rumah Nabi Muhammad. Setiba di depan sebuah rumah, lelaki itu pun berseru memanggil Nabi.
"Wahai Rasulullah! Nabi kaum muslimin," kata lelaki itu agak keras.
Sebentar kemudian muncul seorang lelaki yang berwajah meneduhkan. Sifat kasih sayangnya memancar lembut dari sorot matanya.
"Ya Rasulullah, aku ini sedang kelaparan. Anak dan istriku sedang menderita. Berilah aku sedekah, Tuan," katanya dengan suara tertahan.
"Baik, tunggulah sebentar," jawab Nabi lemah lembut. Nabi masuk ke rumahnya dan membawa makanan untuk lelaki miskin itu. Dengan tangannya sendiri, Nabi menyerahkan sedekah makanan pada lelaki tersebut.
"Aku hanya dapat memberikan makanan sekadarnya," kata Rasulullah.
"Alhamdulillah. Terima kasih Tuan. Aku akan berdo'a agar Allah memberikan balasan yang berlipat," ucap lelaki miskin itu.
"Ambillah rezeki dari Allah ini," kata Rasulullah lagi.
Lelaki itu kemudian pergi membawa makanan dari Rasulullah ke kampungnya. Di sana, ia menyantap sedekah itu beserta anak dan istrinya.
"Sungguh dermawan Nabi umat Islam itu. Aku diperlakukannya dengan santun," cerita lelaki itu pada anak dan istrinya."Apa yang dikatakan orang-orang kalau Nabi Muhammad seorang yang amat mulia itu benar."
"Kalau begitu, besok kau pergi ke rumahnya lagi. Pasti ia akan memberi sedekah yang lebih banyak,"usul istrinya.
Lelaki miskin itu diam sejenak. Lalu mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Nabi Muhammad memang sangat mengasihi orang miskin. Apa pun akan di sedekahkannya dengan ikhlas karena Allah.
Keesokan harinya lelaki miskin itu datang kembali menemui Rasulullah untuk meminta sedekah. Ia amat yakin akan mendapatkannya seperti kemarin. Dengan pakaian yang robek di sana-sini, lelaki itu berdiri di depan pintu rumah Nabi.
"Ya Nabi Allah! Berilah aku sedekah. Anakku belum makan apa-apa di rumah," pintanya memelas.
Rasulullah memandangi peminta-minta itu dengan heran.
"Bukankah kau ini orang yang datang kemarin?" tanya Nabi.
"Ya betul. Kasihanilah si miskin ini," ujarnya.
Nabi pun masuk ke rumahnya mengambil sejumlah uang untuk lelaki miskin itu. Lalu menyedekahkannya.
"Ini untukmu. Pergunakanlah dengan baik dijalan Allah," kata Rasulullah. Bukan main senangnya hati lelaki itu. Rasulullah memberi sedekah uang yang cukup banyak.
Peminta-minta itu pulang sambil bersiul. Ia tak menduga akan mendapat rezeki nomplok! Nabi Muhammad benar-benar seorang yang penyayang. Ia pun lalu membayangkan apa yang akan di sedekahkan Rasulullah padanya besok. Mungkin pakaian yang bagus atau emas permata...ah! siapa tahu? Bukankah beliau gemar bersedekah?
Lelaki itu kenbali menceritakan kemurahan hati Rasulullah.
" Saya jadi ingin menemuinya," kata isterinya.
" Besok aku mau datang lagi memionta sedekahnya." Lelaki itu kembali menerka-nerka barang berharga yang akan diberikan Rasululah.
" Aku jadi ingin bertemu dengan Rasulullah," sahut isterinya tiba-tiba.lelaki itu mengerutkan dahinya. " Kau mau ikut denganku?"
Beberapa saat lelaki itu berpikir. Boleh juga, sesekali memebawa isteri dan anaknya menemui Nabi. Pasti akan lebih meyakinkan! Rasulullah akan iba melihat kelurganya yang hidup serba kesusahan.
"Kau boleh ikut! Kau bisa membatuku nanti," katanya sambil tersenyum. Bahkan, lelaki itu sudah mempunyai maksud mejadi peminta-minta untuk mencari nafkah bagi keluarganya.
" Tak usah capek-capek kerja keras. Cukup dengan cukup dengan menadahkan tagangan dapat rezeki....," pikirnya senang.
Lalu keesokan harinya peminta-minta itu membawa isteri dan anaknya kerumah Rasulullah.
" Tuan, berilah kami sedekah sekadarnya," katanya degan nada memelas.
" Kasihanilah kami yang melarat ini...," timpal isterinya pula.
Rasulullah memperhatikan rombongan kecil itu. Nabi ingat benar lelaki itu yang datang kemarin meminta sedekah.
" Tunggu sebentar," sahut Nabi. Peminta-minta itu gembira akan diberi sesuatu oleh Nabi. Dengan sabar ia menunggu dan mengharap rezeki yang lebih besar lagi.
Tak lama kemudiann, Nabi datang membawa sebuah kapak. Melihat itu, si Pengemis tercengang.
" Sedekahku hari ini sebuah kapak untukmu," kata Nabi.
Pengemis itu keheranan. Kenapa hari ini Rasululah tidak memberi sedekah makanan atau uang.
" Tuan, kapak ini untuk apa? Aku minta sedekah uang atau makanan...," sahut sang Pengemis.
" Kapak ini akan lebih bermamfaat buatmu. Kau bisa menggunakannya untuk menebang pohon, memotong kayu, dan pekerjaan lainnya. Pekerjaan itu dapat menghasilkan nafkah bagimu dan keluargamu," kata Nabi. Lelaki beserta isterinya itu tertegun.
Sungguh , ia tak menduga kalau Nabi akan memberi kapak sebagai sedekah.
" Gunakanlah kapak ini untuk mencari nafkah sehingga kau tidak meminta-minta lagi," sahut Nabi pula.
" Terimakasih, Tuan," ucap lalaki itu seraya menunduk.
Orang itupun lalu pergi dengan perasaan yang berkecamuk. Ia sangat malu menjadi peminta-minta untk mencari nafkah bagi keluarganya. Padahal, ia belum bagitu tua.Tenaganya masih kuat untuk bekerja apa saja. Ia menyesal sudah memafaatkan kemiskinannya sebagai alasan untuk mengemis. Bukankah Allah tidak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang mau berusaha dengan sungguh-sungguh?
Sejak itu, lelaki itu tidak pernah meminta-minta lagi. Ia mencari nafkah dengan menggunakan kapak pemberian Rasulullah.
Kehidupannya pun meningkat berkat kerja keras dan ketekunannya selama ini.
Lelaki itu baru menyadari bahwa tangan diatas lebih mulia daripada tangan dibawah. Karenanya, ia bertekad tak akan menadahkan tangannya kepada manusia. Dia akan menadahkan tangannya hanya kepada Allah yang Maha Penyayang.
TAMAT
diambil dari ebook :
KISAH TELADAN UNTUK ANAK-ANAK
Compiled by Erman
Citramas Indah E/22
Batu Besar, Batam
E-mail: 4erman@telkom.net
Profesor dan Calon Dokter
"Menjadi dokter, butuh keberanian dan ketelitian," terdengar suara sangprofesor. "Dan saya harap kalian dapat membuktikannya." Bapak itu beranjak ke samping. "Saya punya setoples cairan limpa manusia yang telah direndam selama 3 bulan."
Profesor itu mencelupkan jari ke dalam toples, dan memasukkan jari itu ke mulutnya. Terdengar teriak-teriak kecil dari mahasiswa itu. Mereka terlihat jijik. "Itulah yang
kusebut dengan keberaniandan ketelitian," ucap profesor lebih meyakinkan.
"Saya butuh satu orang yang bisa berbuat seperti saya. Buktikan bahwa kalianingin menjadi dokter."
Suasana aula mendadak senyap. Mereka bingung: antarajijik dan tantangan sebagai calon dokter. Tak ada yang mengangkat tangan.Sang profesor berkata lagi, "Tak adakah yang bisa membuktikan kepada saya? Mana keberanian dan ketelitian kalian?"
Tiba-tiba, seorang anak muda mengangkat tangan. "Ah, akhirnya ada juga yang berani. Tunjukkan pada teman-temanmu bahwa kau punya keberanian dan ketelitian." Anak muda itu menuruni tangga, menuju mimbar tempat sang professor berada. Dihampirinya stoples itu dengan ragu-ragu. Wajahnya tegang, dan perasaan jijik terlihat dari air mukanya.
Ia mulai memasukkan jarinya ke dalam toples. Kepala menoleh ke samping dengan mata yang menutup. Teriakan kecil rasa jijik kembali terdengar.Perlahan, dimasukkannya jari yang telah tercelup lendir itu ke mulutnya.Banyak orang yang menutup mata, banyak pula yang berlari menuju kamar kecil.Sang professor tersenyum. Anak muda itu tersenyum kecut, sambil meludah-ludah ke samping.
"Aha, kamu telah membuktikan satu hal, anak muda. Seorang calon dokter memang harus berani. Tapi sayang, dokter juga butuh ketelitian." Profesor itu menepuk punggung si mahasiswa. "Tidakkah kau lihat, aku tadi memasukkan telunjuk ke toples, tapi jari tengah yang masuk ke mulut. Seorang dokter memang butuh keberanian, tapi lebih butuh lagi ketelitian."
***
Tantangan hidup, kadangkala bukan untuk menghadapi kematian. Tapi, justru bagaimana menjalani kehidupan. Banyak orang yang takut mati. Tapi, tidak sedikit yang memilih mati ketimbang hidup. Banyak yang menghabisi hidup pada jalan-jalan tercela. Banyak pula yang enggan hidup hanya karena beratnya beban kehidupan.
Ujaran profesor itu memang benar. Tantangan menjadi seorang dokter-dan sesungguhnya, menjadi manusia-adalah dibutuhkannya keberanian danketelitian. Bahkan, tantangan itu lebih dari sekadar mencicipi rasa cairan limpa di toples. Lebih berat. Jauh lebih berat. Dalam kehidupan, apa yang kita alami kadang lebih pahit dan menegangkan. Namun, bagi yang teliti,semua bisa jadi manis, menjadi tantangan yang mengasyikkan. Di sanalah ditemukan semua rasa, rupa dan suasana yang mendidik. Dan mereka dapat dengan teliti memilah dan memilih.
Teman, hati-hatilah. Hidup memang butuh keberanian. Tapi, akan lebih butuh ketelitian. Cermati langkahmu, waspadai tindakanmu. Hati-hati saat "mencelupkan jari" dalam toples kehidupan. Kalau tidak, "rasa pahit" yang akan kita temukan..
Oleh : Irfan Toni Herlambang
visit : www.sahabatmuslim.com
Jembatan
Pada suatu pagi si kakak kedatangan tamu. Rupanya seorang tukang kayu yang datang lengkap dengan kotak perkakasnya. “Saya mencari kerja. Apakah anda punya pekerjaan buat saya?” tanya si tukang kayu itu. “O ya,” kata si Kakak. “Saya punya satu pekerjaan untukmu. Coba lihat di sana, di ladang sebelah sana. Di sana tinggal tetangga saya. Ehmm, sebenarnya adik saya. Dua minggu lalu dia membuat masalah dengan saya. Sebelumnya di sana ada sebuah tanah lapang, tapi dia telah menguruk tanah itu dan kini ada sebuah lembah kecil di sana. Mungkin ia ingin membatasi tanahnya dengan lembah itu.”
“Tapi,” dia berkata lagi, “Saya bisa lakukan yang lebih baik daripada dia. Kamu lihat kumpulan kayu yang di lumbung itu? Saya ingin kamu membuat pagar. Dan ingat, tingginya harus 10 meter sehingga dia tak akan bisa lagi melihat ladang saya lagi. Saya ingin memberinya pelajaran.” “Baiklah, saya bisa mengerti masalahnya,” jawab si tukang kayu. “Sekarang, tunjukkan dimana palu dan paku supaya saya bisa mulai bekerja. Saya akan membuat Anda senang dengan pekerjaan saya ini.”
Sang kakak menunjukkan tempat perkakas miliknya, lalu pergi ke kota untuk membeli beberapa barang sehari-hari. Ia juga berpesan kepada si tukang kayu untuk menyelesaikan tugasnya itu dalam seminggu. Jadi, selesai tepat saat ia kembali dari kota.
Tibalah saat itu. Matahari hampir tenggelam ketika sang kakak tiba dari kota. Ia langsung menuju “perbatasan” ladang itu. Matanya terbelalak. Betapa kagetnya ia, sebab di sana tidak dilihatnya pagar. Yang ada justru sebuah jembatan yang menghubungkan ladangnya dengan ladang adiknya. Di ujung jalan yang lainnnya, sang adik ternyata telah berdiri sambil melambai-lambaikan tangan. Dalam temaram senja kedua kakak-beradik itu bertemu di tengah jembatan. Sang adik berkata, “Kak, engkau begitu baik telah membuatkan satu jembatan buat kita berdua. Padahal aku yang memulai segalanya. Aku yang membuat lembah ini sebagai batas di antara kita. Engkau begitu baik, walaupun atas segala yang pernah kuucapkan dan telah kuperbuat.”
Sang kakak tak menyangka seperti ini kejadiannya. Sebenarnya ia ingin juga membuat batas di antara mereka. Kedua tangan kakak-beradik itu lalu terbuka untuk saling berpelukan. Di tempat yang agak jauh si tukang kayu menyaksikan adegan itu. Kemudian memanggung pekakasnya. Bersiap pergi. Tapi, ekor mata si kakak segera menangkapnya. “Heii…tunggu! Jangan pergi! Aku punya pekerjaan lain untukmu,” teriak si kakak memanggil si tukang kayu. “Saya ingin sekali berada di sini dan merasakan kebahagiaan kalian,” kata si tukang kayu. “Tapi, masih banyak jembatan lagi yang harus kubangun. Terima kasih.”
Teman, jembatan antarmanusia adalah cinta dan kasih sayang. Dalam cinta kita akan menemukan saling pengertian, pengharapan, welas asih, perhatian, peneguhan, dukungan, semangat, dan banyak hal lainnya. Jika tak bisa menemukan cara untuk memberikan kasih kepada banyak orang, setidaknya kita punya cara untuk mengingat bahwa kita telah lakukan yang terbaik. Sesungguhnya yang kita butuhkan hanyalah sedikit sentuhan bahwa sebenarnya kita adalah satu dan punya keinginan yang sama: DICINTAI dan MENCINTAI.
Disadur dari buku :
Kekuatan Cinta “30 Nasihat Bagi Jiwa Perindu Nur Illahi”
Irfan Toni Herlambang
visit : www.sahabatmuslim.com