Cerpen : "Abadi untuk selamanya"
Cerpen : "Luka"
Sudah dua hari dia mengurung diri di kamar. Tidak makan, tidak minum, tidak berbicara sedikitpun. Hanya menangis dan terus menangis. Hatinya belum bisa menerima kepergian sang pujaan hati.
Kucoba untuk membujuknya makan, tapi dia tidak mau. Dia marah, dia menangis, lalu diam. Dan akhirnya bicara
“Kenapa dia meninggalkanku? Sudah kukatakan padanya agar menjauhi barang haram itu, tapi dia tak mau mendengar. Dia sudah berjanji akan berubah, tapi malah berakhir seperti ini. Sekarang aku harus bagaimana? Aku tidak bisa hidup tanpanya. Aku harus bagaimana?”
Dia menoleh padaku, bertanya padaku. Namun kuhanya diam. Tak tahu harus berkata apa. Yang kulakukan hanya menatapnya, sambil menahan sakit, sakit di dada, sakit di hati. Dialah yang menangis tapi hatiku yang tersiksa.
Ku mengutuk si brengsek yang membuatnya menjadi seperti ini. Dia dulu milikku. Dan akan tetap milikku bila si brengsek itu tak merebutnya. Semenjak mengenal orang itu, dia tak pernah tertawa, tak pernah tersenyum, tak pernah menghiraukanku.
Dia menolak cinta yang kuberikan dengan tulus, dengan sepenuh hati. Tapi dia lebih memilihnya. Padahal yang diberikannya hanya luka, hanya airmata, hanya penderitaan.
Kini orang itu telah pergi, dibunuh oleh sesuatu yang dianggapnya ‘teman’. Teman yang menjerumuskan, teman yang menyesatkan, teman yang membuatnya pergi untuk selamanya. Teman yang bernama Narkoba. Bahkan dia lebih mencintai ‘temannya’ daripada kekasihnya. Dia rela meninggalkan kekasihnya daripada jauh dari ‘temannya’.
Kulihat dia tertidur. Mungkin dia sudah lelah menangis. Wajahnya pucat. Tak seperti dulu.
Yang selalu riang, selalu ceria. Bahkan aku hampir lupa dengan senyumannya.
Kutinggalkan dia sendiri. Menenangkan diri. kuharap ia akan melupakannya. Perlahan tapi pasti. Detik ke detik. Menit ke menit. Hari ke hari. Bayangannya akan terhapus dari ingatannya. Dan bila saat itu tiba, aku akan disisinya. Menjaganya, melindunginya. Tak akan ada lagi air mata, tak akan ada lagi luka. Yang ada hanya bahagia.
¬¬¬_____________________________
Esoknya kumenghampirinya lagi. Tapi ada apa ini? Begitu banyak orang. Semua panik, semua menangis, semua menjerit. Aku bergegas, berlari, menaiki tangga, menerobos kerumununan orang.
Ku berdiri di depan pintu kamarnya. Terpaku, mematung, tak dapat bergerak, tak percaya dengan yang kulihat. Dia ada di sana. Tergeletak. Tangan kanannya memegang pisau, tangan kirinya berlumuran darah.
Kupaksa kakiku tuk melangkah. Perlahan mendekatinya. Semakin dekat. Ku menunduk. Memeriksa denyut nadinya, memeriksa detak jatungnya, memeriksa nafas yang keluar dari hidungnya. Semua nihil. Semua gagal. Tak ada harapan. Semua sudah terlambat. Dia telah pergi. Dia sengaja pergi. Meniggalkan semuanya, meninggalkan orang-orang yang mencintainya, meninggalkan … aku.
Kulihat tangan kirinya menggenggam secarik kertas. Kertas yang berlumuran darah. Ku mengambilnya, membukanya, membacanya.
Cerpen : "Di Stasiun itu............"
By : desthy_shk
Hari ini hari Senin, hari yang sibuk seperti hari-hari sebelumnya. Hari ini matahari terasa membakar orang-orang di stasiun ini sehingga baju mereka terlihat basah karena keringat. Padahal waktu masih menunjukkan angka sembilan pagi. Seperti biasa stasiun Pasar minggu sudah dipenuhi oleh orang-orang yang menunggu kereta api. Ada yang ingin ke kantor, ke kampus, atau ke rumah sanak saudara mereka. Entahlah, yang jelas Arif bukan salah satu di antara mereka. Maksudnya bukan termasuk orang yang menunggu kereta api.
Arif adalah seorang pemuda pedagang asongan yang saat ini sedang menjajalkan dagangannya kepada orang-orang di stasiun ini. Di stasiun pasar minggu inilah Arif biasa mangkal. Di saat dagangannya sepi dengan pembeli, biasanya Arif hanya berjalan-jalan sambil memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Ia suka menebak-nebak pekerjaan apa yang dilakukan oleh orang-orang itu. Seperti yang sedang ia lakukan saat ini, Arif melihat seorang bapak yang berkumis tebal memakai jas lengkap dengan dasinya dan sepatu hitam mengkilap. Ah, dia pasti seorang bos yang pelit, pakaiannya elit tapi berangkat ke kantor naik kereta api, kata Arif dalam hati sambil tersenyum.
Arif terus jalan berkeliling sambil memperhatikan satu persatu orang di sekitarnya sampai akhirnya matanya berhenti pada sesosok gadis berkacamata yang sedang duduk sambil membaca sebuah buku.
Wah,cantik sekali gadis ini. Pasti dia seorang mahasiswa pintar di kampusnya. Buktinya,di suasana ramai kaya gini aja dia masih sempat-sempatnya baca buku. Serius amat sih bacanya. Lagi baca buku apa sih?
Arif mendekat ke arah gadis itu dan kini ia berdiri tepat disampingnya. Nampaknya gadis itu tidak menyadari kehadiran Arif karena ia masih saja terus membaca tanpa menoleh sedikitpun. Arif memperhatikan buku yang di baca gadis itu, tapi ia tetap saja tidak tahu buku apa itu karena ia sama sekali tidak mengerti isi buku itu. Mungkin itu buku kuliahnya, batin Arif. Lalu Arif mengalihkan pandangannya dari buku ke si pemilik buku tersebut. Ternyata dilihat dari dekat gadis ini terlihat makin cantik.
Ketika Arif sedang asyik-asyiknya memandangi gadis itu, tiba-tiba kereta pun datang. Gadis itu segera menutup buku yang sedang dibacanya dan beranjak pergi memasuki kereta itu. Dan kereta itupun pergi, meninggalkan Arif yang masih terpesona oleh kecantikan gadis itu.
Keesokan harinya Arif melihat gadis itu lagi. Gadis itu duduk ditempat yang kemarin. Kali ini gadis itu tidak sedang menunduk sambil membaca buku lagi. Sekarang wajah gadis itu menghadap ke depan sambil sesekali menganggukkan kepalanya. Sepertinya ia sedang mendengarkan lagu karena di telinganya terlihat ada earphone yang terpasang. Arif mendekat, tapi kali ini ia tidak berdiri di samping gadis itu melainkan sedikit di depan gadis itu.
Wah, kalau dilihat dari depan begini makin kelihatan cantiknya. Sayang dia pake kacamata. Coba kacamatanya dilepas pasti makin cantik. Gumam Arif.
Begitulah, semenjak itu Arif tak bosan-bosannya menunggu kedatangan gadis itu. Walau hanya untuk memandangnya saja, Arif sudah merasa lebih dari cukup karena memang hanya itulah yang dapat ia lakukan. Arif merasa tidak cukup pantas untuk mengenal gadis itu lebih jauh. Senin sampai jumat jam 9 di peron 3 jurusan kota, hanya itulah yang ia tahu dari gadis itu. Arif tidak berani bertanya pada gadis itu siapa namanya, alamatnya, dll. Ia hanya berani menatapnya dari kejauhan.
Sudah hampir dua minggu Arif memandangi gadis itu di kejauhan hingga suatu hari Arif melihat gadis berkacamata itu tidak mengenakan kacamatanya. Tapi kali ini gadis itu menundukkan kepalanya sambil sesekali mengusapkan tisu ke matanya. Sepertinya gadis itu sedang menangis.
Kenapa ya gadis itu menangis? Sepertinya sedih sekali. Sayang, padahal dia cantik kalau tidak pakai kacamata,tapi lebih cantik lagi kalo sambil tersenyum. Kenapa dia menangis ya? Tanya Arif dalam hati. Arif mendekati gadis itu. Tapi ia cuma bisa berdiri di samping gadis itu tanpa bisa berbuat apapun untuk menghibur gadis itu. Ia tidak punya cukup keberanian untuk melakukan hal itu.
Semenjak hari itu, hari dimana Arif melihat gadis itu menangis, Ia tidak melihat gadis itu lagi di stasiun. Arif terlihat sedih dan tidak bersemangat untuk berjualan. Ia terus menerus memikirkan gadis itu. Apa yang terjadi pada gadis itu ya? Apa terjadi sesuatu padanya? Apa dia sakit? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang selalu muncul di benaknya tanpa pernah ia tahu jawabannya.
Namun beberapa hari kemudian Arif kembali melihat gadis itu duduk di tempat biasa di stasiun. Tapi kini gadis itu tidak sendirian, di sampingnya duduk seorang pemuda yang tampan. Gadis itu berbincang dan bercanda dengan mesra dengan sang pemuda. Berbeda sekali dengan saat terakhir kali Arif melihatnya, kali ini senyum dan tawa tak henti-hentinya menghiasi wajah gadis itu.
Hati Arif hancur, namun ia turut bahagia untuk gadis itu karena setidaknya gadis itu dapat tersenyum kembali walau bukan karena dirinya…
Begitulah kisah cinta Arif berakhir walau tanpa pernah memulainya…….